Yang tengah kulakukan
saat itu ialah terus memutarkan gelang yang terpajang manis di lengan kiriku. Air mataku jatuh, aku tidak kuat mengahadapi apa yang nampak begitu nyata saat
itu. Dibalik jendela kamarku dengan teralis bercat abu, aku mengintip langit luar, mencoba membayangkan tanganku meraih ranting pohon diluar sana, lalu memanjatnya dengan kaki
telanjang, dan berharap suatu saat dahan pohon itu dapat berubah menjadi
“ketapel raksasa” (haha) yang tampak mungkin pada tayangan kartun favoritku.
Dan ketapel itu dapat melemparku, Jauuuh... sampai jejakku tak tercium oleh dunia lagi.
Lalu kudengar suara langkah kaki yang mendekat menuju ruang kamarku.
dan ternyata pendatang itu adalah Geo. Geo datang dengan hiasan berbentuk huruf “N” yang tegantung di ransel kebanggaannya. sementara aku masih terduduk lemas sebelum menoleh ke arahnya dengan air mata yang terus menetes, meskipun tak banyak, saat khayalanku belum berakhir- ketapel raksasa.
dan ternyata pendatang itu adalah Geo. Geo datang dengan hiasan berbentuk huruf “N” yang tegantung di ransel kebanggaannya. sementara aku masih terduduk lemas sebelum menoleh ke arahnya dengan air mata yang terus menetes, meskipun tak banyak, saat khayalanku belum berakhir- ketapel raksasa.
“Dy..” suaranya lirih
namun jiwaku seolah terpanggil akan suara itu.. suara yang tak asing, tak akan
pernah asing. Hatiku seperti menjerit “Haaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!” mendengarnya, mulutku berbisik kecil “Geo..”
Tanganku bergerak
cepat, menjangkau mata dan dua belah pipiku. Kuhapus air mataku yang masih
berjatuhan itu. “Geo..”, kuputar kepalaku lalu kupersembahkan senyum kecil yang sudah lama tak
kutunjukkan pada dunia, karna kerinduanku pada sosoknya selama dua tahun tak
berarah yang kualami itu.
Sembari menarik
nafasku, singkat. kuangkat kedua telunjukku, memberikan isyarat seolah aku ingin menunjukkan bahwa aku baik baik saja dan masih mempertahankan radarku, sebelum akhirnya yang keluar dari mulutnya saat itu ialah, "Udah dy.. udah ga perlu gini lagi :) aku akan selalu terlacak oleh radarmu", ujarnya sambil menurunkan kedua telunjukku.
“Percuma yaa, selama ini.. menghindarimu.. seperti berjalan
di atas bumi tanpa merasa berpijak..” Aku memulai percakapan yang sudah lama
tak hadir dalam kehidupanku, dan berharap kedatangannya membawa satu
kebahagiaan, atau mungkin yang ia katakan.. aah lupakan! Hatiku tak berhenti
menggumam sendiri selama Geo belum mengeluarkan sepatah katapun dari bibirnya.
Dia masih berdiri tegak
menatapku dengan tatapan matanya yang dingin, dan mungkin yang saat itu
terfikirkan olehnya ialah “bagaimana aku menyampaikannya”. Suasana hening
selama beberapa detk sebelum akhirnya..
“dy.. yang kamu
perlukan adalah menjadi diri sendiri, terbit lagi.. seperti apa yang pernah
kita ikrarkan pada lautan sore itu..”, dia datang mendekat kearah tempatku terduduk,
mndekatkan matanya ke depan, dekat, bahkan dekat sekali dengan kedua pupilku
yang seketika itu mengecil. Matanya seolah berbicara, menyampaikan sesuatu..
tapi..
aku tidak tau maksudnya.
Geo, dia menggenggam
tanganku dan melanjutkan kata katanya tadi, “Aku, akan selalu merasa terhormat
jika kau masih menganggapku sahabtmu, yang tak pernah kau lupa, yang selalu
hadir dalam cerita cerita menarikmu, yang selalu kau bawa dalam petualanganmu
menuju Langit itu.. bahkan aku masih bersedia untuk menemanimu menapaki sungai,
melarung bersama di lautan bebas, bahkan terbang ke atas dengan segelintir asa
kemudian terjun tanpa fikiran yang mereka sebut “realistis”.. karna untuk jadi
bagian dari kisah menarikmu, aku tak pernah memperdulikan kata “realistis” itu".
Matanya tersenyum.
Matanya tersenyum.
Matanya tersenyum.. lagi lagi matanya..
Tidakkah kau lihat
matanya yang berbinar itu.. semua tampak begitu Mengesankan saat bibirnya
melepaskan apa yang benar benar ingin disampaikannya tadi. Yaa.. aku melihat
matanya berbicara.. akhirnya aku merasakannya.. tapi.. maksud dari itu semua?
(tanda tanya). Aku masih belum mengerti, dan seketika hati kecilku berbisik “Ya
Tuhan.. bukankah ini pertanda baik?”
“Dan semua yang kita
lakukan selama ini tak pernah luput dari hubungan sesama “partner” ini bukan?
Kau mengatakannya hanya karna aku teman yang hanya bergelut pada dunia “Imaji”
itu kan? Aku mungkin tak pernah tergambar nyata dalam perjalananmu.. ya kan?
Bahkan, mungkin aku hanyalah tokoh fiksi, seperti “Ice Cream Talks” yang tak
pernah nampak nyata bagi kehidupanmu..”, mataku kembali berair, dan perlahan
aku menjatuhkannya, lebih deras lagi.. sampai isakkan itu terdengar keluar
kamarku.
Tangannya beranjak melepaskan
genggamannya yang erat itu. Sudah kuduga.
Semua ini terjadi karna kecerobohanku
yang tak pernah pandai membaca maksud makhluk yang bermata indah itu.
dan ternyata tangannya
melayang ke arah pipi kiriku. Mengusap, menghapus dan menungut air yang saat
itu terus jatuh dari mata kecilku yang membasahi pipiku.
“Ini yang aku takutkan.
Ketika semuanya tidak berjalan semestinya, kau memilih pergi dan memberi jarak
diantara ruang ruang yang seharusnya kita lalui bersama, kau batasi semuanya
dengan perasaan yang terus kau jaga.. kau sekat dengan semua sikap sebisamu,
yang dapat membantumu menutupi itu semua..” dia kembali memperteguh teorinya
untuk tetap membuat pertemuan itu terhindar dari salah paham diantara kami.
“Aku dengar.. kau sudah
menemukan putri mahkota di negeri seberang.. dan dia yang telah menemanimu
mengukir jejak dalam perjalananmu.. aku pernah menatap pandangan sayu sebelumnya,
tapi tak pernah yang seindah itu.. dan aku melihat itu ada padanya..”, aku
tertawa kecil, sambil sesekali menatap ke matanya yang masih menunduk itu.
“Dia cantik dy.. aku
tidak dapat membiarkannya tersesat dan menjadi milik yang lain, dan aku rasa
dengannya lah aku mampu mengubur semua perasaanku dulu, dan sepertinya itu akan
berhasil. Aku hanya mencoba untuk membalut rasa perih yang dulu pernah ada..
disini (dengan menunjuk dadanya, namun
yang ia maksud- hatinya) Aku hanya berusaha belajar, mempelajari semua yang
dapat kupelajari” balasnya dengan tawa yang dulu terdengar ‘terbahak’, namun
yang kudengar saat itu hanyalah desahan nafas yang terdengar kecil saat ia
tertawa.
“namanya Odelia. Gadis
desa yang jadi penantian terakhirmu bukan?”, ledekku dengan sedikit rasa
cemburu saat mentertawakannya. Aku kembali menatap ke langit luar.
“Aku tak pernah setegar
ini dy.. untuk ungkapkan semua yang sudah sejak dulu ingin kusampaikan
padamu...”. dia menarik kedua tanganku dan memandangku tenang, dia tersenyum,
namun matanya tampak tak kuasa saat mulutnya mengatakan..
“Bidy The Beautiful
Lotus from Fungooland, yang akan selalu kucinta, dan akan terus kucinta, aku
Geo Kartapholeon yang sejak pertama kali merasakan radarmu akan terus berada di
dalam perjalananmu dan akan bersedia untuk menciptakan kembali Impian impian
yang dulu sempat pupus kepercayaanku pada samua itu”, dia mengakhiri semua
ungkapan itu dengan senyuman yang sekarang sudah tak asing bagi memori seisi
kepalaku.
“Aku.. aku ga kuat
geo..

gelang ini.. aku udah ga tahan sama semua pertahanan yang ga mungkin bisa dibendung lagi..”, aku mulai menundukkan kepalaku kemabli untuk meluapkan kelemahanku pada tumpahan air mata.

gelang ini.. aku udah ga tahan sama semua pertahanan yang ga mungkin bisa dibendung lagi..”, aku mulai menundukkan kepalaku kemabli untuk meluapkan kelemahanku pada tumpahan air mata.
“kita sudah memilih.
Odelia adalah satu dari sekian banyak insan yang tuhan pilihkan takdirnya untuk
bertemu denganku..”, lirihnya
“bagaimana denganku??
Bukan dia yang kucintai.. bagaimana jika kau yang meyalahkan takdir itu??
Bahkan kau tak tau apapun tentang takdir itu sendiri..”, aku membalasnya dengan
suara yang terdengar tersendat sendat karna menangis.
“Aku akan pergi melanjutkan takdirku,
bahkan hatimupun ikut memilih sebelum kita bertemu di hari ini.”
“Aku hanya manusia dengan jutaan
goresan tinta yang biasa kularungkan ke lautan.” Balasku.
Geo mulai menatap
dingin, namun akhirnya tersenyum sebelum akhirnya ia pergi meninggalkan Bidy
yang tampak tak berdaya akan akhir pertemuan pertama mereka setelah dua tahun
mereka habiskan untuk saling mengurung perasaan yang mendesak mereka untuk
bertemu itu.
“Aku gatau nus.. harus
gimana lagi.. aku pasrah pada semua perahu kertas yang kularungkan ke lautan
itu”, aku terduduk lemas di depan pintu kamarku setelah geo meninggalkan ku
dengan hati yang saat itu menangis. Langit nampak memerah, matahri bersembunyi
dibalik awan yang tampak seperti kapas, dan dedaunan pohon di depan jendela
kamarku jatuh bergiliran, hingga saat itu suara hatikupun tak terdengar karna
semua yang kunantikan hanyalah goresan tinta yang kularungkan untuk neptunus
berhasil sampai ke tuannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar