Hari itu dimulai,
saat tahun ajaran baru setelah umurku genap 9 tahun lewat dengan semua kenangan
yang tak bisa teruraikan hanya dengan beberapa karakter diatas papan datar yang
tengah kupelajari seluk-beluk dan pemahamannya ini.
Kejadian itu
membayang, ketika saat itu juga kuingat usiaku yang hendak bergelar “10 TAHUN”
. dengan 9 tahun lebih waktuku kuhabiskan dengan untaian cerita yang masih
tertata rapi dan indah dalam tiap lapis memori yang tak kalah (sebenarnya) dari
kecanggihan Teknologi Abad 21 ini
Menyandang Predikat
“Murid Baru” di sekolah dasar yang letaknya tak jauh dari rumah 2 petak yang
saat itu jadi tempat bersinngahnya aku dan keluarga kecilku yang akan
membantuku menjadi seorang gadis kecil yang tumbuh dengan kasih, menjadi
seorang putri remaja yang akan siap menjalankan amanahnya disaat saat yang
telah ditentukan nanti.
“Teteh yakin sudah
putuskan ini matang-matang??” , Abi dengan wajah teduhnya, meski sang surya tlah
memoleskan warna gelap pada kulitnya yang selalu kuingat wangi dan
kelembutannya itu kembali membuatku bertanya balik pada diriku sendiri.
“Ya bi! Teteh sudah
bulat, mudah-mudahan di sekolah yang baru nanti teteh bisa lebih meningktkan
prestasi teteh lagi, mohon doanya ya bi”, jawabku santai, karna belum banyak
yang terfikirkan olehku di usiaku yang masih seumur jagung itu.
“Umi dan Abi Cuma bisa
doain teteh, kaka dan ade adenya, mencoba mememnuhi nsemua kebutuhan untuk
kelanjutan nasib pendidikan kalian, sebagai orang tua yang memang berkewajiban
seperti itu”, dengan sedikit perasaan haru, umi mencoba meyakinkan ucapanku.
“Abang sama yang
lain janji kok mii, semuanya akan berjalan sesuai dengan harapan kita”, sambung
fajri, anak yang saat itu baru saja terdaftar sebagai murid kelas 3 di sekolah
dasar negeri, yaa, tempat baru yang akan menjadi tempat terakhir di jenjang
sekolah dasar, dan yang akan jadi saksi perjalananku dan adikku- fajri, selama
tahun tahun berikutnya menuju ke jenjang sekolah menengah pertama.
Perbincangan kami
sore itu seolah mengugat hati kami- anak anak kesayangan Abi dan Umi yang telah
mereka besarkan dengan penuh kasih. Tak banyak yang dapat kulukiskan untuk
mengisahkan kejadian haru di sore itu, hanya saja.. masih ada yang jadi beban
fikiranku yang terus membuatku tak lelap di malam terakhir “hari Liburku”.
Seragam, sepatu,
Sarapan, kaus kaki, tas, dan perlengkapan sekolah lainnya telah siap di atas
lemaari buku di ruang tengah rumah 2 petak itu.
Senyum kecil
menghias di wajah Abi yang kecoklatan itu, dengan kumis yang dulu khas dengan
wajah gagahnya itu.
“Waah ada yang mau
masuk sekolah baru nih..”, ledeknya di pagi buta , kala itu.
“Abi, makasih yaa
untuk semuanya J” dengan
senyum kecilku yang kala itu senang karna hari ini adalah hari pertamaku
menginjakkan kaki di sekolah baru, Sekolah Negeri, yang katanya- Kehidupan di
dekat sekolah itu jauh lebih terbuka ketimbang sekolah di sekolah swasta.
Yaa, hari itu aku
bangun pagii sekali. Sebelum semua perlengkapan itu nampak nyata dihadapan,
dari balik dinding kamar, yang membatasi ruang kamar dan ruang tengah itu,
kudengar bisikkan bisikkan lirih..
Semua terdengar
indah.. dan kektika kuberanikan diriku untuk melepas mata memandang siapakah
yang dengan sendunya itu melantunkan kata-kata lembut yang membuat hatiku
terhanyut? Abi.
Dihadapan Ilahi,
dengan memejamkan matanya, melantunkan tiap kata indahnya dengan suara berbisik
dan isakkan kecil yang sesekali membuatku terpana, dan ingiiin sekali saat itu
kugapai tangannya dan kupeluk- genggam kecil dan menangis haru ditengah gelapnya
pagi hari itu.
Namun yang bisa
kulakukan saat itu hanyalah mengintipnya dibalik tembok bercat merah muda
dengan wajah yang tak tega ketika melihatnya “bersungguh” memohon pada Ilahi.
“Abi, tadi solat
apa? Kenapa Abi menangis?”, Tanyaku untuk menjawab rasa ingin-tahuku yang
mendalam saat itu.
“Itu namanya solat
Malam, atau Solat Tahajjud teh J”, dengan senyuman yang beriringan dengan jatuhnya air mata
kecil, Abi menjawab
“Abi menangis
karna Abi Sayang sama kalian, sama Umi; yang insya Allah akan jadi pendamping
setia abi di syurga nanti *Allahumma Amin, Kaka, Teteh, Abang dan ade kecil
kita J”, jawabnya, lagi lagi dengan tertawa
kecil.
Pukul setengah 4
Pagi, aku sudah terbiasa bangun, dulu. Meskipun belum mengerti banyak tentang
apa yang abi sampaikan tadi, aku mulai penasaran dengan Ibadah plusnya saat
itu.
Selepas Solat
Shubuh, aku siap siap mengenakan seragam baru tanpa lambang Sekolah Lamaku yang
dulu terlihat biasa di seragam merah putihku itu.
Masih kuingat
betul hari itu. Kami berangkat pukul 6 lewat 25 pagi, dengan diantarkan Abi
menuju ke Sekolah baru.
Motor “bebek”
SupraX bernomor polisi “BG 5181 ” terlihat jelas kala itu membawa kami menuju
sekolah yang letaknya tak jauh dari rumah sederhanaku.
Berbeda. Kata pertama
yang terbayang saat pertama kali menginjakkan kaki kananku diatas keramik
deretan ruang kelas 6. Diam, bingung, kesal (sedikit), tapi tetap senang. Perasaaan
yang tergambar saat itu. Tap.. tap..
tap.. suara langkah kaki abi saat memasuki ruangan kepala sekolah, dan
otomatis aku dan adikku, sebagai murid baru, telah dinantikan kedatangannya
oleh Bu Kepala Sekolah, Bu Asnun yang kebetulan saat itu masih baru menjabat
sebagai kepala sekolah disana.
Karna tidak begitu
kuperhatikan perbincangan Abi dan Kepala Sekolah, aku tidak tau apa yang mereka
bicarakan saat itu, yang jelas, setelah selesai berkenalan dengan kepala
sekolah beserta staff lainnya, kami digiring guru masuk ke kelas masing-masing.
Haaah.... ini yang aku takutkan –berpisah dengan Abi, dan membiarkannnya pulang
sendiri melewati jalanan yang belum ramai seperti sekarang ini.
“Pulangnya jalan
yaa J”, tak lupa senyumnya membalut
kekhawatiranku sebelum ia bergegas menuju Supra nya itu.
Hari Pertama.
Tidak begitu
spesial karna aku tidak diperkenankan memperkenalkan diri yang bertubuh kecil
dan mata segaris ini, padahal.. apa mereka tidak penasaran dengan teman barunya
yang bermata segaris ini (sempat terlintas sejenak).
Aku diperkenankan
duduk di sebelah anak perempuan berambut pendek tipis, dengan senyum yang lepas
dari bibir kecilnya saat menyambut kedatanganku. Barisan paling ujung, dengan
urutan kedua, tepat dibelakang 2 perempuan yang saat aku datang memandangiku
dari ujung kaki sampai ke atas jilbab kaos putihku ini (rasanyaaaaaa...).
Tanpa
disngka-sangka, satu persatu dari mereka bergilir menawarkan telapak tangan
mereka untuk mengajakku berkenalan. Dan disaat aku tengah asyik berkenalan
dengan teman-teman baruku, aku tidak tau apa yang tengah dilakukan adikku di
seberang sana, ruang kelas 4A.
Teman-teman
baruku.
baik, mereka ramah, meskipun terkadang jilbab
putihku jadi sasaran untuk candaan mereka, yaa namanya anak umur 10 tahun, yang
fikirannya masih didominasi oleh “main, makan, bercanda, Berbuat jahil
seenaknya..” , masih banyak lagi.
Tapi.. diantara
semua teman yang pernah ada di kelas 5A saat itu, aku lebih suka main sama
lawan jenis. Yup! Anak laki-laki :D yang katanya bangor dan super-duper-jaiiill :D
Dari awal masuk,
ntah kenapa anak-anak cowok itu yang buat SD negeri itu ga seserem yang banyak
orang bilang J
Nah, dulu stelah
beberapa hari sekolah, sebelum pulang ke rumah, Aku sama anak-anak cowok yang
lain, termasuk adikku, Fajri pasti langsung cabut ke PGSD J
Mereka masih inget
ga yaa??
Waktu moment
moment keren itu tercipta dengan nyata, dan aku Cuma satu satunya anak
perempuan yang main sama mereka waktu itu :’D
Tapi tetep, yang
paling aku sayang selain Fajri Cuma satu J
Boris. Iya, Boris
namanya J Alesan aku selalu kepengen main sama anak
anak 5A yang dulu terkenal nakal bin jail sampe ke telinga guru guru :D *ahahahaWeCalleditFriendship ! #HappyusSadus!
Istilahnya itu, Boris
ibarat air, nah aku iabarat panas matahari :D
Semua yang kita
lakuin itu pasti seru! Bayangin aja, pernah satu hari kita habisin waktu dari
jam 10 sampe jam 4 sore Cuma buat manjat rumah pohon di belakang gedung PGSD
depan sekolah :’D dan aku selalu berharap, dimanapun mereka berada saat ini,
mereka ga bakal lupa sama petualangan 6 “Bolang” di tahun tahun terindah yang
pernah ada itu J
Pokoknya, kalo
gaada Boris semuanya ga lengkap ! ga ada yang biasa ngasih petuah-petuah dasyat
yang bisa bikin hati yongki sama edo luluh, gaada yang nraktir “baso pentol
100an” waktu jalan, gaada yang ngeledekkin aku lagi, dan..
Gaada lagi yang ngasih kelereng yang bentuknya
aneh lagi, yang dulu sepulang sekolah selalu setia terpajang di kotak warna
merah maroon kecil yang diatasnya aku hias pake tali buat ntgiket gorden biar
keliatan manis J.
Satu lagi, Boris
itu anak laki laki yang badannya gemuk, kulitnya putih, matanya kecil,
hidungnya macung dan hobinya mengenakan topi yang akan selalu hanifa ingat ris,
dibalik topinya ada tulisan “kita bersahabat karna kita bocah bocah edan
yang berani..” , yang awalnya Cuma “kita bolang bolang yang berani”,
karna kurang greget, aku coret dengan sengaj, terus aku ganti sama kata kata
aneh diatas :’).
Subahanallah..
sahabat ...
Aku bener bener
rindu.. waktu kita jadi peserta pelatihan buat kaka kaka di PGSD, kita dikasih
pensil, buku, permen, bahkan yongki sempet matahin kursi lipet yang waktu itu
emang udah waktunya patah :’D
Ini, sudah
lembaran kertas ke-6 di Microsoft Word J dan aku ga nyangka, rasa kantuk itu kalah sama memori memori
tentang semua kenangan kita yang kalo suatu saat kita diberi kesempatan untuk
berjumpa kembali, dan Insya Allah dalam keadaan yang jauh lebih baik dari hari
itu, gatau deh kita bahasnya bakalan gimana :’)
Buat Boris, ris..
kamu diamana?? Kenapa?? Waktu kita berkelana menjadi “bocah” Cuma sebentar
kerasa banrengannya? Oh ia, Syukron Khatsiroon yaa buat semuanya, terutama batu
berbentuk bintang yang warnanya biru tua, metalik. Subhanallah.. itu masuk ke
salah satu “jawara” buat kategori Monumen (wahaha) maksudnya kenang kenangan
yang tak kan terlupa dan bernilai, meskipun kita masih terpisah jarak , tapi
masih banyak mimpi yang mau kuceritakan pada bisik bisik yang “rahasia” ini
diantara kaita berenam, Cuma dari telinga->ke telinga J
Aku menanti kalian
disini, masih dengan doa yang sama untuk Mimpi mimpi besar kita yang dulu
sempat terucap meskipun selalu diiringi dengan tawa *takpercaya , tapi aku
tetap percaya J karna
semua orang berhak bermimpi.
Satu pesanku, Kita
Satu J
Hanifa Aulia,
masih dengan Impian yang jauh lebih banyak dari sebelumnya beserta mata kecil
yang setia menyaksikan semua skenario kehidupan yang telah Allah takdirkan ini J
Palembang, 7
November 2013